Selamat Datang Kawan

"Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar." Khalifah Umar

Resapi

Orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan, tetapi hebat dalam tindakan (Confusius)
Sukses seringkali datang pada mereka yang berani bertindak, dan jarang menghampiri penakut yang tidak berani mengambil konsekuensi. (Jawaharlal Nehru)

Orang yang bahagia bukanlah orang pada lingkungan tertentu, melainkan orang dengan sikap-sikap tertentu. (Hugh Downs)
Semua yang dimulai dengan rasa marah, akan berakhir dengan rasa malu. (Benjamin Franklin)

Tentang Penulis

Foto Saya
tentangsastra.com
Lulusan Sastra Indonesia UPI, Sekarang sedang melanjutkan pendidikan ke S2 UPI Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

PERKEMBANGAN SASTRA DAN REALITAS SOSIAL YANG MEMPENGARUHINYA

Oleh Ucu, S.S

Mengenali proses kelahirannya, penciptaan sebuah karya sastra (cerpen dan novel khususnya) mengalami proses yang panjang hingga dapat sampai ke tangan pembaca, Proses ini seringkali tidak diketahui oleh pembaca awam dan mungkin pula dianggap sepele oleh sebagian penelaah sastra, mulai dari munculnya dorongan pertama untuk menulis, pengendapan ide (ilham), penggarapan, sampai akhirnya tercipta sebuah karya yang siap untuk dibaca oleh publik.

Setiap karya sastra yang ditulis tentunya memiliki ide, gagasan, pengalaman, dan amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan harapan, apa yang disampaikan itu menjadi sesuatu yang berharga bagi perkembangan kehidupan masyarakat. Adapun ide, gagasan atau pengalaman dan amanat yang ingin disampaikan sastrawan tersebut tidak akan terlepas dari kondisi lingkungan penulisnya. Pradopo (2002:59) mengemukakan  bahwa karya sastra secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh pengalaman dari lingkungan pengarang. Sejalan dengan kondisi tersebut, Herder (dalam Atmazaki, 1990: 44) menjelaskan bahwa karena karya sastra dipengaruhi oleh lingkungannya, maka karya sastra merupakan ekspresi zamannya sendiri. Kondisi ini mengakibatkan adanya hubungan sebab akibat dan timbal balik antara karya satra dengan situasi sosial tempatnya dilahirkan. Terkait hal itu pula Ikhwanuddin Nasution dalam tulisannya pada saat pengukuhan guru besarnya di Universitas Sumatra Utara (Nasution, 2009 : 2) menyatakan bahwa karya sastra (sastra) merupakan kristalisasi nilai-nilai dari suatu masyarakat. Meskipun karya sastra yang baik pada umumnya tidak langsung menggambarkan atau memperjuangkan nilai-nilai tertentu, tetapi aspirasi masyarakat mau tidak mau tercermin dalam karya sastra tersebut. Oleh karena itu, karya sastra tidak terlepas dari sosial-budaya dan kehidupan masyakarat yang digambarkannya.

Keberadaan ini mengisyarakatkan bahwa, sebenarnya (dan memang) karya sastra memiliki peran penting dalam kehidupan kemanusiaan, peran tersebut dapat tereksplorasi dari tradisi moral dan religi yang senantiasa menumbuhkan penghayatan terhadap nilai-nilai kebaikan, sehingga dapat membangun manusia untuk mengenali, memilih, dan meyakini yang benar adalah benar serta yang salah adalah salah.

Dari awal keberadaannya sebagai hasil kebudayaan yang dikenal dengan sastra tradisional, karya sastra Indonesia kemudian terus berkembang hingga akhirnya dikenal dengan sastra modern. Perkembangan sastra Indonesia mengalami berbagai ekplorasi substansi (terutama tema) mulai dari keberadaan ekonomi, sosial, politik maupun budaya dan keberadaan keagamaan. Dari awal masa kemerdekaan novel Matahariah karya Mas Marco Kartodikromo mengangkat pemikiran multikulturalisme yang tidak terlepas dari realitas sosial dengan mengeksplorasi permasalahan kemiskinan serta kolonialisme, konfrontasi ras, bangsa-bangsa, dan kebudayaan, sehingga ironisnya, aktivis seperti Marco menjadi korban pertama yang mengakhiri hidupnya di penjara yang penuh nyamuk malaria (Ratih Dewi 2006: 2).

Bersambung...