Selamat Datang Kawan

"Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah. Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar." Khalifah Umar

Resapi

Orang yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan, tetapi hebat dalam tindakan (Confusius)
Sukses seringkali datang pada mereka yang berani bertindak, dan jarang menghampiri penakut yang tidak berani mengambil konsekuensi. (Jawaharlal Nehru)

Orang yang bahagia bukanlah orang pada lingkungan tertentu, melainkan orang dengan sikap-sikap tertentu. (Hugh Downs)
Semua yang dimulai dengan rasa marah, akan berakhir dengan rasa malu. (Benjamin Franklin)

Tentang Penulis

Foto Saya
tentangsastra.com
Lulusan Sastra Indonesia UPI, Sekarang sedang melanjutkan pendidikan ke S2 UPI Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

DANARTO


Danarto. Bukan dari kultur pesantren atau keluarga yang islami ia dibesarkan. Ia mengaku termasuk orang-orang Islam abangan dalam sebuah wawancara di JIL (Jaringan Islam Liberal). Sampai usia 26 tahun ia tak mengenal apa yang namanya ritual shalat, apalagi mengaji kitab suci Islam, al-Qur’an. Perubahan itu datang ketika ia mulai berumur 27 tahun. Di sebuah hamparan sawah di Garut, ia mulai terilhami. Padi-padi yang bersemi dan air yang mengalir, menumbuhkan kesadaran baru pada dirinya. “Andai bibit padi ini diguyur air satu tong, dia tentu bisa hanyut dan mati. Makanya harus disiram secara perlahan-gemericik.” Ungkapnya. Pancaran keagungan Tuhan yang Maha Penyayang, mulai meresapi dirinya. Sejak saat itu, orang yang sering berkemeja putih dalam kesehariannya ini, mulai melaksanakan rukun Islam kedua, shalat.

Danarto adalah anak seorang mandor pabrik tebu di Sragen. Jakio Harjodinomo dan Siti Aminah, demikian nama ayah dan bundanya. Tanggal 27 Juni 1941 ia dilahirkan. Dengan pekerjaan sebagai mandor dibantu Aminah yang berjualan batik, ayah Danarto tidak mengalami kesulitan dalam memberikan bekal pendidikan bagi anaknya. Pendidikan dari SD, sampai perguruan tinggi dapat dinikmati Danarto dengan baik. Tahun 1958—1961 Danarto hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan studinya di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) dan mengambil seni lukis sebagai bidangnya.

Selain seni lukis, Danarto memang dianugerahi bakat dalam bidang seni sastra. Pada tahun 1959—1964 ia bergabung dengan Sanggar Bambu Yogyakarta untuk dapat menumpahkan hasrat dramawannya. Dia sering ambil bagian dalam pagelaran drama yang diadakan Rendra dan Arifin C. Noor, meski sekedar menangani rias dekorasi.

Tahun 1969, Danarto mengadu nasib ke Jakarta. Dan terdampar di TIM (Taman Ismail Marzuki), dengan terlebih dahulu menjadi tukan poster sebelum akhirnya menjadi pengajar di IKJ (Institut Kesenian Jakarta) pada tahun 1973. Pada tahun-tahun inilah karya monumentalnya tercipta, kumpulan cerpen-cerpennya diterbitkan pada tahun 1974 dengan judul Godlob. Godlob sendiri adalah judul cerpen Danarto yang pernah dimuat majalah Horison pada tahun 1968. Dari nama cerpen inilah kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh Rombongan “Dongeng dari Dirah” diberi judul Godlob.

Adam Makrifat adalah antologi cerpen Danarto berikutnya. Meraih penghargaan antologi cerpen terbaik dari Yayasan Buku Utama, tahun 1982. Beberapa bulan sebelumnya, cerpen Adam Makrifat sendiri memperoleh penghargaan sebagai cerpen terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta.

Berhala juga menyusul sebagai antologi cerpen terbaik pada tahun 1987, juga oleh Yayasan buku Utama. Selanjutnya, di tahun-tahun berikut, Danarto menelurkan Gergasi (1996), Asmaraloka (1999, sebuah novel), dan Setangkai Melati di Sayap Jibril (2000). Karya terbarunya adalah antologi cerpen dengan judul “Kacapiring” yang terbit pertengahan 2008.

Hampir setiap karya yang diciptakan Danarto adalah karya-karya yang bernuansa mistis, dengan gaya surealis bebasnya. Baru-baru ini dalam panggung sastrawan Indonesia Danarto lebih dikenal sebagai Sastrawan Realis Magis, meski agaknya kurang tepat jika membaca karya-karya Danarto awal, semisal Adam Makrifat, dengan keliaran imajinasinya. Penyematan sebagai seorang realis magis diberikan Akmal Nassery dari Tempo, berdasarkan antologi cerpen terbarunya, Kacapiring. Baik sebagai seorang surealis atau realis, Danarto masih tetap berjalan pada lintasan spiritualitas, menjadi salah satu pelopor sastra religius bersama orang-orang seperti Abdul hadi W.M.

“Saya mengalami pangalaman spiritualitas yang luar biasa pada tahun 1968. Saya bangun pagi di rumah orang kaya di Dago, Bandung. Lantas saya dapatkan Tuhan ada di mana-mana. Supir yang Tuhan, kucing yang Tuhan, ayam yang Tuhan, dan lain-lain.” (Wawancara dengan JIL). Corak pengalaman spiritual khas wahdatul wujud, di mana Danarto merasa nyaman dengannya. Hanya satu realitas, Tuhan semata.

Dalam hal ini, Danarto termasuk orang-orang yang begitu beruntung. Pengalaman spiritual sampai sejauh ini pada umumnya adalah satu hal yang diupayakan dengan usaha yang keras. Bahkan dalam beberapa kasus, membutuhkan semacam ritual-ritual yang begitu berat dilaksanakan, shalat malam, tapa brata, dan puasa misal. Danarto hampir-hampir tidak melalui itu.

Setahun sebelumnya, setelah mendapatkan penyingkapan di Dago, Danarto mengalami pengalaman spiritual yang tak kalah dahsyat. Dia mendengar seluruh alam bertakbir mengiringi takbirnya. Ketika untuk pertama kali dia mengenal dan mengamalkan shalat.

Pengalaman-pengalaman inilah yang setidaknya membekas dalam karya-karyanya. Terutama dalam antologi keduanya, Adam Makrifat.

Ada beberapa alasan mengapa antologi Adam Ma’rifat di pilih penulis untuk mewakili kespiritualan karya-karya Danarto. Pertama, di antara beberapa karya Danarto Adam Ma’rifat lah yang keseluruhan cerpen di dalamnya mengandung tampakan spiritualitas (‘Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat’, ‘Adam Ma’rifat’, ‘Megatruh’, ‘Lahirnya Sebuah Kota suci’, Ngung Ngung Cak Cak dan ‘Bedoyo Robot Membelot’).

Kedua, mungkin kumpulan cerpennya yang lain juga tak kalah dalam hal substansi spiritualitasnya, sebut saja misalnya, Gergasi dan Setangkai Melati di Sayap Jibril, atau bahkan Godlob. Sayangnya untuk antologi cerpen Godlob dan dua lainnya penulis belum sempat membaca karya ini secara keseluruhan, karena kurangnya sumber bacaan. Dan hal inilah yang menjadi salah satu alasan penulis lebih memilih Adam Ma’rifat.

Sekilas disebut di atas, Adam Ma’rifat merupakan kumpulan cerpen Danarto yang kedua setelah Godlob. Terdiri dari enam buah cerpen, yang hampir semuanya terlihat sebagai hasil imajinasi yang begitu liar.
Dalam ‘Mereka toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat’, menjadi cerpen pembuka dalam antologi ini, kita akan menemukan Jibril yang begitu usil mengurusi kehidupan manusia. “Akulah Jibril, yang pada suatu hari melihat sebuah sekolah dasar yang anak-anaknya sedang mampat pikirannya, maka kutukikkan layang-layang……tepat di tengah atap itu: breg-brag-kada-brag beberapa genting aku perintahkan jatuh,…..”

Adam Ma’rifat lebih nampak sebagai sebuah karya sufistik. Kesadaran tentang aku yang sering dilambangkan dengan cahaya. “Akulah cahaya yang meruntun-runtun dengan kecepatan 300.000 kilometer per jam,………..lalu kau bertanya siapakah dirimu itu? Dirimu adalah penyelidikanmu sedang diriku adalah rahasiaku:….”

Megatruh mungkin dapat dikatakan cerpen yang paling nyeleneh di antara cerpen lainnya dalam Adam Ma’rifat. Tokoh aku senam pagi, bercengkerama bersama kadal dan batang pisang. Kemudian mengalami pengalaman spiritual bersama setelah pertemuan tiga sahabat ini dengan zat asam. Jika dalam cerpen Adam Ma’rifat penekannya pada manifestasi Allah, bahwa semua adalah pengejawantahan-Nya, dalam Megatruh penekanan ada pada pengalaman seorang salik pada suluk.

Bagian paling sulit dalam kumpulan Adam Ma’rifat ada pada cerpen selanjutnya, bagian keempat. Dengan judul seperti not tangga lagu, disertai bunyi ngung dan cak. Setting ceritanya sendiri nampak sebagai pementasan tari Kecak. Dengan melihat struktur bahasa yang dipakai, agaknya Danarto hendak bilang bahwa dengan kata-kata apapun seseorang dapat merasakan aura spiritualitas. Pengulangan kata “ngung”, “cak”, “klui”, atau apapun itu bisa saja menghidupkan nuansa spiritualitas dalam diri seseorang. Tak harus melulu nama-nama Allah yang biasa digunakan, karena setiap kata yang dikenali manusia pada dasarnya mewakili nama-nama-Nya.

“Lahirnya Sebuah Kota Suci” bicara tentang waktu dan pengalaman spiritualitas. Rumah si tukang reparasi jam yang tiba-tiba menjadi begitu terkenal dan sakral, setiap orang yang datang ke sana akan dapat mengalami pengalaman yang dahsyat, suatu yang asing. Keterasingan pada sesuatu yang melampaui waktu, dialami dan sedang melanda umat manusia. Kesadaran akan apa yang seharusnya disadari telah menjadi asing, sekaligus dirindukan.

Kalau mau dibaca dari awal, cerpen satu hingga lima, pertama Danarto menunjukkan sebab musabab manusia lupa pada fitrahnya, kesadaran pada Allah, yang dikarenakan lingkungan dan proses pewarisan pemahaman yang tidak membebaskan. Kedua, Danarto pada Adam Ma’rifat mencoba mengenalkan kembali sosok Allah. Ketiga, pada cerpen-cerpen berikut hingga “Lahirnya Kota Suci” aspek pengalaman dengan segala atributnya diperkenalkan kembali oleh Danarto. Dan terakhir dalam, “Bedoyo Robot Membelot” akan ditemui kondisi ketidaksadaran, kefanaan 17 penari dan R.A. Soelistyami Proboningrat. Meski nampak juga samar-samar Danarto ingin menyampaikan bahwa shalat dan yang membawanya bukan lagi menjadi suatu yang diperhatikan umat Islam, dilupakan.

Berhala juga menyusul sebagai antologi cerpen terbaik pada tahun 1987, juga oleh Yayasan buku Utama. Selanjutnya, di tahun-tahun berikut, Danarto menelurkan Gergasi (1996), Asmaraloka (1999, sebuah novel), dan Setangkai Melati di Sayap Jibril (2000). Karya terbarunya adalah antologi cerpen dengan judul “Kacapiring” yang terbit pertengahan 2008.

Baru-baru ini dalam panggung sastrawan Indonesia, Danarto lebih dikenal sebagai Sastrawan Realis Magis, meski agaknya kurang tepat menyebut tokoh satu ini demikian jika membaca karya-karya awalnya, semisal Adam Makrifat, dengan keliaran imajinasinya. Penyematan sebutan sastrawan realis magis pada Danarto diberikan Akmal Nassery dari Tempo, berdasarkan antologi cerpen Kacapiring.

Dalam beberapa hal, dengan melihat karya-karya yang dihasilkan, memang Danarto lebih tepat disebut sebagai seorang realis. Namun, dalam hal lainnya, menyebut dia demikian menjadi nampak begitu dilematis, mengingat karya-karyanya seperti yang disebut Umar Kayam (pengantar Antologi Berhala, 1987) lebih sering melampaui batas-batas realis, absurd, bahkan layak disebut surealis. Sebut saja cerpen Megatruh dalam Adam Ma’rifat yang begitu nyeleneh. Membawa pembaca pada acara senam pagi tokoh aku, bersahabat dengan kadal dan pohon pisang. Pada batas aktivitas senam tokoh aku, cerpen ini nampak realis, namun ketika tokoh kadal dan pohon pisang muncul karakteristik surealisnya pun terlihat, apalagi setelah tokoh zat asam hadir.

Dengan begitu mudahnya Danarto keluar masuk dunia real dan absurd. Hampir-hampir Danarto tidak pernah melepaskan karakter ini dalam setiap cerpennya. Sesekali memulai cerpennya dengan realitas yang tidak jauh dari kehidupan sehari-hari, sesaat kemudian pembaca bisa saja dibawa pada dunia antah brantah yang mungkin sulit dikenali. Dari sinilah Umar Kayam (dalam pengantar Berhala, 1987) tidak mengkategorikan Danarto sebagai satrawan realis maupun surealis, namun di antaranya.

Pengalaman-pengalaman spiritual yang pernah dialaminya, mungkin menjadi sebuah pijakan tersendiri untuk menyebutnya sebagai seorang surealis. Seperti yang disebutkan pada wawancaranya dengan JIL. “Saya mengalami pangalaman spiritualitas yang luar biasa pada tahun 1968. Saya bangun pagi di rumah orang kaya di Dago, Bandung. Lantas saya dapatkan Tuhan ada di mana-mana. Supir yang Tuhan, kucing yang Tuhan, ayam yang Tuhan, dan lain-lain.” Ungkapnya. Pengalaman-pengalaman sejenis ini, terurai dalam cerpen-cerpennya, yang lebih sering tercampur dengan persoalan-persoalan sosial membuat pembaca terasa memasuki dunia lain sekaligus begitu dikenal, seorang realis sekaligus surealis.

Pengalaman-pengalaman mistis yang pernah dikenalkan Ibn Arabi, atau Hamzah Fansuri, begitu lekat dengan karya-karyanya, menyajikan pandangan satu warna pada dunia tentang kesatuan segala sesuatu, ditambah kultur Jawa, menjadikan karya-karya Danarto nampak begitu lain dari yang lain, meski tidak semua.

Baik sebagai seorang surealis atau realis, atau bahkan sastrawan di antara kedua sebutan itu, Danarto berjalan pada lintasan spiritualitas, menjadi salah satu pelopor sastra religius atau magis Indonesia bersama orang-orang seperti Abdul hadi W.M.

Diambil dari: suratkitaonline.wordpress.com (Khayun Ahmad Noer)